Mengapa Pelajaran “Menjadi Manusia” Belum Masuk Kurikulum Resmi?
Sekolah telah lama menjadi tempat di mana angka, rumus, dan definisi mendominasi hari-hari anak. Anak-anak diajarkan untuk menghitung, menghafal, dan menyusun argumen logis. slot depo qris Namun, ada satu pertanyaan yang jarang disentuh secara langsung oleh sistem pendidikan formal: apa artinya menjadi manusia? Pertanyaan ini, meskipun mendasar, justru belum menjadi bagian eksplisit dalam kurikulum resmi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Mengapa pelajaran tentang menjadi manusia—dengan segala kompleksitas emosi, moralitas, tanggung jawab, dan makna hidup—tidak pernah secara resmi diajarkan? Padahal, ketika anak keluar dari kelas matematika atau bahasa, ia akan menghadapi dunia yang lebih sering meminta empati, kejujuran, dan integritas daripada kemampuan menjumlahkan pecahan.
Pendidikan yang Cenderung Terfokus pada Output Akademik
Salah satu alasan mengapa pelajaran menjadi manusia belum masuk dalam kurikulum adalah karena sistem pendidikan selama ini lebih banyak berorientasi pada output yang terukur secara akademik. Nilai, skor ujian, dan ranking menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan. Padahal, aspek-aspek seperti kepekaan sosial, kemampuan memahami diri sendiri, atau keterampilan membina hubungan antarmanusia tidak selalu bisa diukur lewat angka.
Akibatnya, aspek-aspek penting dari proses menjadi manusia—seperti belajar tentang kegagalan, memahami perasaan orang lain, mengenal batas diri, atau merawat lingkungan hidup—sering kali dianggap sebagai “bonus” atau bahkan hanya sekadar urusan rumah dan keluarga.
Ketakutan Akan Subjektivitas dan Interpretasi
Ada kekhawatiran dari pihak pembuat kebijakan bahwa pelajaran tentang “menjadi manusia” terlalu subjektif dan sulit distandarisasi. Apa ukuran seseorang dianggap “manusiawi”? Bagaimana cara mengevaluasinya? Apa indikatornya? Ketika sistem pendidikan dibangun di atas prinsip standardisasi, maka segala sesuatu yang sulit diukur menjadi beban tersendiri.
Namun, justru di situlah letak tantangan yang seharusnya dihadapi oleh pendidikan: bagaimana menciptakan ruang aman bagi pembentukan karakter tanpa terjebak dalam dogma atau pengajaran satu arah. Pelajaran tentang menjadi manusia bukan tentang memberikan jawaban, melainkan membuka pertanyaan.
Kurangnya Pelatihan dan Kesiapan Guru
Guru adalah aktor penting dalam setiap bentuk pendidikan. Sayangnya, belum banyak pelatihan yang secara spesifik mempersiapkan guru untuk menjadi fasilitator dalam diskusi seputar nilai-nilai kemanusiaan. Materi seperti ini membutuhkan pendekatan yang reflektif, personal, dan terbuka terhadap keragaman perspektif.
Banyak guru mungkin merasa tidak siap, atau bahkan tidak diberi ruang dan waktu dalam silabus untuk membawa percakapan seperti itu ke dalam kelas. Akibatnya, pelajaran menjadi manusia tetap berada di luar sistem formal, seolah-olah pendidikan karakter cukup diwakili oleh slogan dan pelajaran moral yang bersifat hafalan.
Tantangan Dunia Nyata Tak Sekadar Akademik
Ironisnya, dunia nyata—yang akan dihadapi anak setelah lulus sekolah—lebih sering menuntut mereka untuk memahami diri sendiri dan orang lain daripada menguasai rumus-rumus matematika. Dunia menantang anak untuk bersikap bijak dalam konflik, berani mengambil tanggung jawab, dan berempati pada yang tertindas.
Kemampuan-kemampuan seperti itu tidak bisa ditumbuhkan hanya melalui hafalan dan ujian pilihan ganda. Ia tumbuh dari dialog, refleksi, pengalaman, dan keberanian untuk menjadi jujur tentang siapa kita dan bagaimana kita memperlakukan sesama.
Kesimpulan
Pelajaran tentang “menjadi manusia” belum masuk dalam kurikulum resmi karena berbagai alasan: orientasi sistem pendidikan yang masih akademik, ketakutan akan subjektivitas, kurangnya pelatihan guru, dan tantangan teknis dalam mengukurnya. Namun, keberadaannya sangat krusial. Dunia tidak hanya membutuhkan lulusan yang cerdas, tetapi juga yang peduli, jujur, dan mampu menjadi manusia dalam arti yang sebenar-benarnya. Selama hal ini masih belum dijadikan bagian utama pendidikan, kita berisiko mencetak generasi yang pintar secara teori, tapi kesulitan menghadapi kenyataan hidup yang penuh nuansa.